Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan non-subsidi yang naik memicu gelombang protes yang masif dari berbagai kalangan masyarakat.
Demonstrasi dan seruan aksi tidak berhenti digelar di berbagai tempat.
Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto menyebutkan bahwa fenomena tersebut lumrah terjadi.
Ia melihat, pemerintah sudah memahami hal tersebut, termasuk dampak sosial dari keputusan yang tidak populer itu.
“Efek domino kenaikan harga BBM ini kan memicu juga rentetan kenaikan barang kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat.
Jadi wajar kalau muncul kekhawatiran dan ketidakpuasan kalau kenaikan harga BBM menimbulkan tekanan sosial baru,” ujarnya dilansir dari laman resmi Unair pada Selasa, 13 September 2022.
Hal tersebut terlihat dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung digencarkan.
Menurut dia, hal itu merupakan upaya pemerintah agar tekanan sosial yang terjadi tidak terlalu besar.
Ia menekankan bahwa yang menjadi tantangan ialah bagaimana menjamin kepercayaan masyarakat mengenai distribusi BLT yang merata.
Tentunya, kata dia, informasi yang terbuka harus dilakukan.
“Yang dikhawatirkan, program bansos tidak banyak berdampak karena logika pemerintah kayaknya membayangkan kalau masyarakat itu kondisi ekonominya nol, lalu diberi Rp 600 ribu dan katakanlah plus Rp 600 ribu.
Tapi masalahnya, bagaimana kalau masyarakat minus?” kata Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair tersebut.
Selain masalah distribusi, Bagong juga bicara perihal kemanfaatan.
Menurut dia, distribusi yang tepat sasaran belum tentu tepat manfaat.
Apalagi, dampak sosial dari putusan tersebut akan meningkatkan golongan orang miskin baru.
Tentunya banyak masyarakat yang harus beradaptasi dengan kondisi tersebut.
“Untuk kelompok yang kita sebut sebagai kelompok near poor, dekat dengan kemiskinan, gejolak harga membuat mereka bukan tidak mungkin akan menjadi orang miskin baru,” ucapnya.
Di sisi lain, kata dia, pada dasarnya stimulus pemberian subsidi tidak selamanya baik apabila dilakukan secara berlebihan.
Hal tersebut akan berdampak pada masyarakat yang selalu ketergantungan.
Baginya, ketika subsidi dikurangi atau dicabut, maka masyarakat akan merasakan kehilangan atas apa yang dinikmatinya selama ini.
“Pemerintah sebaiknya tidak banyak pada bantuan yang sifatnya karitatif ya.
Tapi pada bantuan yang lebih memberdayakan dan kebijakannya jangan seperti pemadam kebakaran yang menunggu apinya menyala, baru dimatikan,” katanya.
Bagong berpesan hendaknya masyarakat melakukan diversifikasi usaha dan tidak berpatokan pada pekerjaan pokok.
Menurut dia, pekerjaan pokok gampang sekali terombang-ambing dengan regulasi yang ada.
“Bagaimana masyarakat diajari, didorong untuk memperkuat penyanggah ekonomi keluarga.
Bukan membesarkan ekonomi pokok karena kalau kolaps maka kolaps ekonomi keluarga itu.
Tapi kalau pemasukannya banyak, mereka akan lebih banyak menghadapi tekanan,” katanya.